Oleh : Bustamin (Fb. Bustamin-Tato)
Semua orang pasti memiliki yang nama kampong halaman (tempat kelahiran)
termasuk penulis. kali ini, dalam cerita ini, saya pun akan
menceritakan sedikit tentang sebuah desa dimana saya dan saudara-saudara
saya dilahirkan dan dibesarkan dengan suasana kekeluargaan, dan
kebersamaan. Desa batetangnga, itulah nama sebuah desa yang tidak jauh
dari kota polewali sebagai ibudaerah kecamatan polewali mandar. Suasan
yang nyaman, masyarakat religious tergambar melalui ritual-ritual
keagamaan berbeda dengan desa-desa lain misalnya, acara kematian atau
dalam bahasa ibunya “ma’bongi”.
Acara kematian atau ma’bongi, ini
dilaksanakan ketika ada salah satu keluarga atau masyarakat di desa
yang meninggal dunia, dan adat ini dilaksanakan 3 kali sampai malam ke
100 dari waktu kematiannya. Adat inilah yang membedakan dengan desa-desa
lain yang mungkin hanya 1 hari saja dalam pelaksanaan adat duka “acara
kematian”. Acara ini bukan hanya menyampaikan satu isyarat duka yang
mendalam setelah ditinggalkan seoarang kerabat, saudara, dan keluarga
yang sangat dicintainya namun, kekeluargaan, dan panggilan moral sebagai
seorang manusia yang hidup dalam satu desa yang menjungjung tinggi
nilai persaudaraan, tenggang rasa yang sangat tinggi, satu meninggal
maka yang lainnya berkumpul (melayat) turut berduka dan saling membantu
baik dalam bentuk do’a, maupun dalam bentuk material (beras, uang, kain,
tenanga, dan air mata) sebagai bentuk solidaritas yang sangat tinggi
sebagai seorang manusia yang bersosial.
Masyarakat atau sosial,
dengan penyampaian secara teoritik mungkin akan berbeda dengan situasi
yang terjadi desa batetangnga ini, masyarakat batetangnga yang secara
pengetahuan tentang hidup satu asa sebagai manusia tidak lahir dari
tebalnya buku tentang social masyarakat, bukan terlahir dari suatu
paksaan penguasa yang otoriter tetapi, itu semua terlahir dari adat
tempo doloe “nenek moyang” masyarakat batetangnga yang telah menurunkann
rasa persaudaraan yang tinggi sampai sekarang. Adat istiadat masyarakat
pemula dipertahankan dan dipelihara oleh generasi masa depan. Mungkin
agak aneh, dan sangat tidak masuk akal untuk mempertahankan budaya lama,
dan itu muncul dalam benak fikiran saya. Dengan proses dialektika
dimana suatu keadaan akan mengalami perubahan negasi ke negasi masih
tak terbantahkan. Dalam masyarakat batetangnga yang dulunya menjungjung
tinggi persaudaraan, kini mulai tergeser oleh perkembangan dunia yang
tak terbentuk arus hegemoniknya. Perkenalan akan teknologi (internet dan
media elektronik lainnya seperti HP, dan dunia gadgetnya) telah
menggeser dengan cepat budaya lama menuju pada budaya konsumerisme,
seremonial dan segala bentuk aromah pasar bebas.
Desa yang
dulunya religious, ber-masyarakat (menjungjung tinggi persaudaraan) kini
telah jauh dari aromah persaudaraan, individualism telah di nomor
satukan. Dan kesibukan yang kompotitif diperlihatkan, itulah warnah
desaku sekarang desa wisata nan elok.
Sekian dari saya!