30 Januari
201 pukul 21:54
Akhirnya
saya menemukan rujukan yang pas belajar menulis berita bagi wartawan
pemula. Meskipun sebenarnya banyak juga rujukan lain yang bisa dicari di mbah
google
Bagi yang
selama ini mengalami kesulitan menulis berita, tidak cukup hanya memahani 5 W +
1 H dan piramida terbalik. Latihan menulis terus menurus adalah cara alamiah
untuk meningkatkan kualitas tulisan.
Berikut
adalah artikel rujukan yang saya maksud. Berasal dari blog wartawan senior asal
Sumatera Utara, yaitu Jarar Siahaan. Selamat membaca
Menulis
Berita Bagi Reporter Pemula :
Beberapa
teman seprofesi saya, redaktur di koran lokal terbitan Medan dan juga
suratkabar nasional di Jakarta, dalam kesempatan berkomunikasi via telepon
sering mengeluhkan sulitnya mencari reporter yang mampu menulis berita dengan
baik. “Waktu direkrut, dia mengerti dan tahu menjelaskan apa itu 5W1H dan
piramida terbalik, tetapi setelah beritanya ditulis, pusing saya membacanya
karena tidak jelas apa maksudnya,” kata seorang teman wartawan yang pernah
bekerja sebagai pemimpin redaksi di sebuah koran harian. “Lalu kalau dia tidak
mengirim berita, alasannya karena tidak ada berita yang menarik untuk diliput.”
Tidak tahu
teknik menulis berita dengan baik, dan tidak mengerti bagaimana cara mencari
berita yang layak-tulis. Masalah ini saya pikir terjadi di semua daerah di
Indonesia, banyak koran mengalaminya. Apalagi jumlah media cetak semakin banyak
sementara orang yang benar-benar terpanggil menjadi wartawan sangatlah sedikit.
Di bawah ini
saya bagikan beberapa tips jurnalistik dari pengalaman saya selama 15 tahun
lebih menulis berita di koran dan situs Internet. Sekarang untuk level reporter
pemula, dan nanti di kesempatan lain saya akan menulis tips dan teknik
jurnalistik untuk tingkat redaktur agar tidak “ditokoh-tokohi” reporter.
Tips
jurnalistik dasar bagi wartawan pemula: bagaimana menulis berita yang
baik untuk koran
#1: Menulis
dengan jujur.
Fakta tidak
boleh dipelintir. Opini dan penafsiran harus ditulis dalam alinea yang berbeda.
Boleh tidak netral, tapi harus independen.
Berbohong
dalam berita adalah dosa terberat wartawan. Jika jumlah aktivis LSM yang
mendemo bupati hanya puluhan orang, jangan tulis ratusan atau ribuan orang.
Berita bohong seperti ini sangat sering muncul di koran-koran daerah, terutama
menyangkut liputan pilkada.
Jika harus
menulis interpretasi atas sebuah fakta, tuliskanlah di paragraf terpisah, dan
tunjukkan secara jelas kepada pembaca supaya mereka tahu mana yang fakta dan
mana opini atau penafsiran si wartawan.
Reporter
yang meliput berita di lapangan harus bersikap independen terhadap semua pihak
yang terkait dengan topik tulisannya. Berikan kesempatan yang sama bagi semua
narasumber untuk menjelaskan versi mereka, jangan memvonis kebenaran. Wartawan
boleh tidak netral, misalnya kalau harus memihak pada rakyat yang jadi korban
penindasan penguasa, namun harus selalu independen dengan memberikan kesempatan
pada penguasa untuk berbicara.
#2: Tanda
Baca koma dan pola piramida terbalik.
Berhati-hatilah
menggunakan tanda baca koma. Bila salah penempatan, maka redaktur di kantor
redaksi bisa salah memahami laporan anda. “Amir memukul, Budi ditangkap polisi”
(yang memukul ialah si Amir, kok malah Budi yang ditangkap) adalah berbeda
maknanya dengan “Amir memukul Budi, ditangkap polisi” (ini benar, yang
ditangkap adalah Amir).
Menulis
berita biasa haruslah dalam format piramida terbalik. Yang paling penting
di bagian paling atas; alinea-alinea di bawahnya semakin kurang penting. Saya
sering membaca berita koran daerah yang memuat nama-nama pejabat yang
menghadiri sebuah acara seremonial pada alinea kedua atau ketiga, padahal inti
beritanya justru di alinea kelima atau bahkan menjelang akhir.
#3: Catat
dengan detail. Dengarkan dengan cermat. Rekam, jangan andalkan ingatan.
Saya sering
melihat reporter koran yang baru beberapa tahun bekerja melakukan wawancara
atau liputan berita di lapangan dengan tidak mencatat sama sekali! Manusia
dengan otak super! Bahkan hanya duduk di warung kopi dengan jarak seratusan
meter dari lokasi demo atau acara seremonial yang akan jadi topik beritanya.
Tapi sepulang meliput, dia bisa dengan santai menulis berita di komputer
warnet, tanpa takut sedikit pun bahwa kemungkinan ada data dan fakta yang
salah-tulis.
Wartawan
pemula sering malu untuk bertanya, “Pak Kadis, ejaan nama Bapak yang benar
Jhonny atau Joni atau bagaimana?”
Kalau
narasumber mengucapkan kalimat dengan makna ganda atau kurang jelas, tanyakan
kembali dan tegaskan. Jangan sampai yang dia maksud adalah “Polisi belum akan
memeriksa dia” tapi anda tulis dalam berita sebagai “Polisi tidak akan
memeriksa dia”.
#4: Tulis
dalam kalimat yang jelas, lengkap, dan jernih.
Redaktur
koran harian akan membiarkan naskah berita reporter yang ditulis dengan kalimat
yang membingungkan, karena dia dikejar tenggat menyelesaikan halamannya. Kalau
anda menulis berita kriminal tentang mencuri, maka sebutkan sejelas-jelasnya
SIAPA yang mencuri, SIAPA yang menjadi korban, dan APA yang dicuri. Jangan
anda malah asyik menulis BAGAIMANA pencurian itu terjadi, atau ajakan kapolsek
agar warga melakukan ronda malam.
Yang paling
mendasar dalam sebuah berita biasa ialah APA dan SIAPA, baru kemudian DI MANA,
KAPAN dan yang lainnya. Jangan tulis “Menurut Amir, bla-bla-bla…” tanpa anda
jelaskan siapa itu si Amir; apakah dia demonstran, penonton aksi demo, atau
pendukung pihak yang didemo.
Sering saya
melihat pembaca koran menggerutu, “Apa maksudnya berita ini, tak jelas.” Berita
mesti ditulis dengan kalimat yang jernih. Susunlah kalimat-kalimat tunggal, dan
sebisa mungkin hindari memakai anak kalimat jika hal itu berpotensi membuat
pembaca bingung.
#5: Fokus
pada topik berita. Jangan melebar ke sana-sini.
Sejak
meliput dan wawancara di lapangan, reporter koran sudah harus tahu apa topik
atau sudut pandang laporannya. Bila memilih “nasib guru honorer berupah kecil”,
maka temuilah pihak-pihak yang terkait dengan isu tersebut. Selain
wawancara dengan guru, tanyai juga kepala sekolah, pejabat Dinas Pendidikan,
anggota DPRD dari komisi yang membidangi pendidikan, pensiunan guru, dll.
Jangan malah anda hanya mengutip komentar aktivis LSM karena dia punya saudara
yang baru diputus-kontrak sebagai guru honorer.
Kalau
misalnya anda kesal melihat seorang pejabat yang suka berindehoi di kafe-kafe
malam, maka liputlah itu secara khusus dan jangan selipkan pada berita bertopik
lain, “Ditanya mengenai dugaan korupsi stafnya, Kepala Dinas yang sering
berdisko di Tenda Biru ini mengatakan….” Terlalu nampak ‘kali tak dikasih
amplop. Malu kita sebagai wartawan.
#6: Tulis
dengan proporsional, jangan berlebihan.
Ini
kelemahan banyak reporter koran di daerah. Fakta yang diaperoleh dari
narasumbernya, katakanlah kejaksaan, adalah bahwa Kabag Umum sedang diselidiki
terkait kasus dugaan penggelembungan dana pembelian seprai dan gorden rumah
dinas bupati. Tapi kemudian ditulisnya dalam berita “Tapanuli Utara sarang
korupsi”. Jika anda ingin menulis berita Tapanuli Utara sebagai sarang korupsi,
maka beberkanlah sekian banyak data kasus korupsi di daerah itu.
Ada wartawan
koran menulis berita “Dengan arogannya Camat menjawab via telepon bahwa…” hanya
karena si narasumber berbicara ketus-ketus.
Sebaliknya
reporter lain yang baru mendapat amplop tebal dari pejabat mengirim naskah
berita ke redaksinya “Bupati yang sangat dicintai rakyatnya ini mengatakan…,”
padahal si bupati baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan beberapa
kali didemo warga.
#7: Periksa
kalimat kutipan, pernyataan off the record, konfirmasi, dan “ucapan di kedai
kopi”.
Jangan
biarkan beritamu memiliki celah untuk digugat ke pengadilan. Jika harus menulis
kalimat langsung, maka tulislah seperti apa adanya diucapkan oleh narasumber.
Bila dia mengucapkan kalimat dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Batak,
telitilah saat menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Saat melihat
catatan atau mendengar rekaman wawancara, jika anda bingung atau lupa mana
bagian informasi yang merupakan pernyataan off the record (tidak untuk ditulis)
dan mana yang bukan, tunda dulu menuliskan bagian itu sebelum berhasil
mempertanyakan kembali pada narasumber berita.
Si A
menuding si B. Apakah anda sudah melakukan konfirmasi pada si B? Jika belum,
jangan dulu menulis berita itu. Kalaupun harus, karena alasan-alasan tertentu,
seperti deadline atau faktor kemenarikan topik berita, maka samarkanlah secara
total identitas si B. Kalau si A menuding si B dalam tiga hal, maka
konfirmasinya tidak boleh hanya menyangkut satu hal.
Wartawan
koran duduk-duduk santai bersama pejabat dan politikus di kedai kopi, lalu ada
seorang pejabat yang melontarkan pernyataan menarik, kemudian si reporter
mengutip kalimat tadi dalam beritanya dengan menuliskan nama si pejabat. Jangan
lakukan yang begini. Anda harus kembali menemui si pejabat untuk meminta izin
apakah kalimatnya itu boleh anda kutipkan ke dalam berita.
#8: Yang
terakhir, dan ini sangat mendasar: Patuhilah kode etik jurnalistik yang
melarang wartawan melakukan plagiat atau menjiplak.
Jangan kira
jika anda mengutip beberapa kalimat berita dari koran lain, atau menyadur bahan
dari Internet, maka hal itu tidak akan ketahuan. Percayalah, cepat atau lambat
akan ada pembaca yang komplain dan menyampaikannya kepada redaksi anda di
kantor. Jika begitu, karir kewartawanan anda sudah sedang di ujung tanduk. Redaktur
anda akan wanti-wanti untuk menerbitkan berita yang anda laporkan, dan koran
lain pun akan berpikir keras untuk menerima lamaran dari wartawan tukang
jiplak.
Saya punya
pengalaman soal ini. Dulu di sebuah koran mingguan, di mana saya menjadi pemimpin
redaksi, ada seorang redaktur saya yang menulis ulasan mengenai ulos Batak
“sepanjang air sungai mengalir” alias sangat-sangat panjang. Tulisan itu terbit
beberapa edisi, dan memakan ruang satu halaman penuh. Pada edisi kedua, ada
seorang pembaca mengirim email kepada saya, dan ada dua orang lainnya yang
menelepon langsung ke ponsel saya. Mereka komplain dan mengatakan bahwa artikel
perihal ulos Batak itu adalah plagiat alias dijiplak dari situs blog di
Internet, dan bukan karya si redaktur.
Memang pada
tulisan itu, di bawah judulnya, tertulis “oleh…” (tanda titik-titik adalah nama
si redaktur), tanpa keterangan sedikit pun bahwa karya tersebut dikutip dari
sejumlah blog Internet. Bahkan dengan beraninya si redaktur menulis kredit-foto
pada gambar-gambar ulos: “Foto oleh…” (juga tertulis namanya).
Setelah saya
cek dan benar bahwa semua isi artikel dan foto itu adalah karya cipta milik
beberapa blogger di Internet, pada koran edisi berikutnya saya menambahkan
keterangan di bawah judul: “Dikutip dari berbagai sumber di Internet”.
Seharusnya saya hendak menulis alamat-alamat blog yang dikutip, tapi ada alasan
tertentu sehingga tidak jadi.
Beberapa
hari kemudian dalam rapat redaksi, si redaktur malah protes pada saya. “Mengapa
Pemred bikin begitu. Itu sama saja telah melecehkan saya. Berhari-hari saya
mencari bahannya dan menggabungkannya menjadi satu tulisan,” katanya.
Bah,
makjang! Sudah ketahuan menjiplak tapi masih berkelit pula. Yang dilecehkan itu
sebenarnya siapa: dia atau blogger si penulis asli? Tidak lama kemudian,
setelah muncul kesalahan-jurnalistik lain dalam tugasnya sebagai redaktur,
akhirnya saya memecat dia dan mencari redaktur baru. » Jarar Siahaan dotcom.
Sumber
:
Post a Comment