Oleh Tamsil
Belakangan ini, tampak ada yang beda dengan pelaksanaan ritual
ajaran To Mimala di dusun Kaleok desa Batetangnga, Kec. Binuang, Kab.
Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Sebelumnya, ritual selalu dilakukan di
tempat tertutup dan hanya boleh diikuti oleh para penganutnya saja,
namun akhir-akhir ini tidaklah demikian. Mereka menyelenggarakannya di
tempat terbuka dan boleh diikuti orang luar. Sebuah prosesi yang tak
lagi tertutup.
Biasanya, ritual To Mimala dilakukan di hutan, sungai, batu dan
kuburan. Dalam ritual, salah satu prosesinya adalah, memotong ayam.
Darah ayam itu lalu ditampung dalam wadah-wadah yang sudah dipersiapkan
sebelumnya; satu ekor satu wadah. Lalu, darah diminum separuhnya dan
sisanya dibakar dalam daun pisang. Hasil pembakaran itu kemudian
diberikan kepada sang pemilik hajat. Sementara sebagian sesajen lainnya
digantung di rumah, di kebun, atau sawah –bergantung dari niat yang
melakukan ritual To mimala.
Apa yang melatari dari perubahan ini? “Ritual dilakukan dengan
terang-terangan karena orang luar semakin hari membuka lahan dan
pemukiman baru di wilayah Kaleok,” tutur Ami, salah seorang penganut
ajaran To Mimala. Karenanya, tambah Ami, tidak adanya tempat yang tak
diketahui orang umum, membuat ritual dilakukan terang-terangan.
Mengenai nama To Mimala sendiri mengandung arti beragam. Kata “To”,
dalam pengertian luas, adalah manusia sempurna atau orang yang paling di
atas. Sedangkan kata “Mimala” bermakna alam. Mimala, juga kadang
diartikan sebagai persembahan sesajen kepada dewata, penghargaan
terhadap alam semesta, dan penolak bala’. Ritual To Mimala sejatinya
diperuntukkan kepada SangBarata, Sang Pencipta alam semesta.
Dikejar-kejar
Karena dianggap musyrik, penganut ajaran To Mimala selalu
dikejar-kejar oleh kelompok yang tidak menginginkan keberadaan mereka.
Hingga kini, jika ketahuan melakukan ritual To Mimala, akan dibubarkan
oleh warga dari Kampung Bawah. Inilah alasan mengapa ajaran yang satu
ini sulit berkembang dan penganutnya kian hari kian menyusut.
Jika merunut sejarahnya, maka penganut To Mimala sebenarnya kenyang
pengalaman soal bagaimana dia selalu dikejar-kejar dan diperlakukan
layaknya komunitas “terlarang” karena ajarannya dianggap menyimpang dari
Islam. Di tahun 1960-an mereka pernah dirazia oleh DI/TII, pimpinan
Kahar Muzakar. Ceritanya, saat itu karena DII/TII diberantas oleh TNI
710 Diponegoro, mereka melakukan taktik gerilya dengan masuk ke
hutan-hutan. Dan, salah satu hutan yang menjadi tempat gerilya adalah di
desa Batetangnga, tempat To Mamila berada.
Karena melihat ritual To Mimala yang menyembah selain kepada Tuhan,
anggota DI/TII lantas merazia dan membumihanguskan tempat tinggal para
penganut kepercayaan tersebut. Mereka juga ditodong dan dipukul, hingga
ada yang sampai tak sadarkan diri.
Razia DI/TII, membuat penganut ajaran To Mimala menyingkir ke pegunungan di sebelah utara Batetangnga. Pilihan tempat ini karena banyak terdapat batu-batu besar, sungai, atau pohon besar yang biasanya menjadi tempat ritual. Pengejaran itu pula lah yang juga tampaknya membuat penganut kepercayaan To Mimala merahasiakan diri saat melangsungkan sembahyang.
Padahal, sebagaimana kata H. Tima’, pohon, misalnya, bukanlah untuk sesembahan melainkan hanya medium saja. Karena yang disembah esensinya adalah Tuhan Yang Esa. Ini hanyalah cara serta bukti untuk melestarikan alam.
Senada dengan hal di atas, Simba, tokoh pemuda To Mimala, menegaskan bahwa niat bagi To Mimala melakukan sembahyang dengan ritual itu, muncul dari dalam hati seseorang tanpa ada paksaan. “Apapun, kalau niatnya salah, maka yang ia sembah adalah setan,” ungkap Simba. Jadi, “Yang menentukan apa yang diniatkan orang dalam sembahyang adalah orang itu sendiri.”
To Mimala sendiri, dalam ajarannya justru begitu toleran. Ini dibuktikan dengan adanya batu Sumandilo. Batu yang berada di Kaleok ini adalah batu persahabatan agama-agama. Batu Sumandilo, dibagi dalam tiga potongan. Di bagian depan, batu disimbolkan agama Islam, bagian tengah disimbolkan agama Kristen, dan bagian belakang adalah Aluk Todolo atau kepercayaan To Mimala.
Saat Islam datang di Kaleok, justru berakulturasi dengan kepercayaan To Milama. Hal itu bisa dilihat saat berlangsungnya prosesi upacara-upacara adat, seperti kematian, pesta kawin, dan Maulid Nabi Muhammad saw dengan membuat syair (cakkiri). Cakkiri, adalah syair yang menggunakan dialek Pattae (salah satu etnis desa Batetangnga) yang dicampur dengan dialek Arab. Sebagian liriknya juga menggunakan bahasa Arab meski tidak terlalu pas dengan kaidah dan pelafalan huruf abjad arab. Isinya, memuji Nabi Muhammad dan ke-Esa-an Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi haji Tima’, To Mimala tidak berbeda dengan Islam. To Mimala juga percaya bahwa Tuhan itu satu. Tuhan tidak beranak dan tidak bisa dirasionalkan. Mungkin yang membedakan hanyalah kitab sucinya. To Mimala menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan ajaran yang dikenal dengan ampe-ampena todolo.
Tima’ sendiri, sebagaimana juga mayoritas umat Islam lainnya, mendamba naik haji. Maka, ia pun ketika memiliki rezeki pergi ke tanah suci. Meski berhaji, kepercayaannya terhadap To Mimala tak luntur. Seusai naik haji, ia tetap melakukan ritual To Mimala, memberi sesajen pada pohon dan batu sebagai bagian dari cara mereka menyatu dengan alam.
tulisan ini diambil dari
http://muhammadihsan728.wordpress.com/2013/03/10/cara-beda-to-mimala/
Post a Comment